Ini Kata Jokowi Soal Invasi Rusia ke Ukraina

By Admin


nusakini.com - Jakarta - Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada Selasa (22/3) menilai invasi Rusia ke Ukraina dapat memperparah krisis ekonomi dunia yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi COVID-19.

Harga sejumlah komoditas seperti minyak mentah, batu bara, minyak sawit dan nikel melambung sejak Rusia melancarkan serangan militer ke Ukraina pada 24 Februari lalu.

Meski analis menilai Indonesia diuntungkan akibat kenaikan beberapa komoditas tersebut, Presiden Jokowi berpendapat kenaikan benda-benda niaga tersebut telah turut mengerek angka inflasi.

"Pada saat dunia mulai bangkit memulihkan perekonomian, Februari lalu terjadi perang, perang yang membuat pusing semua negara," kata Jokowi dalam diskusi daring bertajuk CNBC Economic Outlook 2022 di Jakarta.

"Harga minyak naik, gas naik, bahan baku pupuk naik, dan gandum juga naik. Inflasi tentu juga semakin meningkat."

Dalam pernyataan kepada BenarNews pada awal Maret, analis mengatakan bahwa penerimaan Indonesia dalam bentuk pajak dan nonpajak berpotensi naik sebesar Rp192 triliun pada 2022 akibat invasi Rusia ke Ukraina, dengan catatan harga minyak mentah bertahan pada kisaran $127 per barel.

Per hari ini, harga minyak mentah tercatat hampir menyentuh $120 per barel, setelah sempat turun beberapa waktu lalu.

Kenaikan itu dipicu sikap negara-negara Uni Eropa yang mempertimbangkan pemberlakuan embargo untuk impor energi asal Rusia, menyusul Amerika Serikat yang lebih dahulu menetapkan sanksi.

Rusia merupakan pemasok 27 persen minyak mentah dan 40 persen gas untuk Uni Eropa.

Ditambahkan Jokowi, pemerintah Indonesia sendiri kini terpaksa lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan ekonomi demi mencapai pertumbuhan yang ditargetkan, menyusul konflik di wilayah Eropa Timur tersebut.

Kementerian Keuangan sebelumnya menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada level 4,7-5,5 persen untuk 2022. 

Salah satu langkah untuk mencapai target itu, terang Jokowi, adalah menggenjot investasi guna menciptakan lapangan kerja. 

Maka, lanjut Jokowi, "Dibutuhkan kerja sama, kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha. Dibutuhkan kebijakan yang cepat dan tepat serta implementasi yang efektif."

Dalam keterangan pers virtual pada Kamis pekan lalu Bank Indonesia (BI) menyatakan target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang telah dipatok berpotensi meleset andaikata perang yang dilancarkan Rusia ke Ukraina tak berkesudahan.

Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, invasi Rusia telah meningkatkan ketidakpastian perekonomian global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, China, dan negara-negara Eropa.

Jika sebelumnya pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan bisa mencapai 4,4 persen, peninjauan terbaru menunjukkan penurunan ke angka 4,2 persen.

"Bahkan kalau berlanjut, (pertumbuhan ekonomi global) bisa 3,8 persen. Bergantung seberapa lama eskalasi itu berlanjut," kata Perry kala itu.

Optimisme pertumbuhan ekonomi

Kendati dibayangi ketidakpastian global tersebut, Jokowi dalam kesempatan yang sama tetap optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal tetap membaik dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Keyakinan itu bersumber dari beberapa hal seperti penanganan pandemi nasional yang disebutnya berhasil sehingga mempermudah pengakselerasian ekonomi 2022.

"Kasus penyebaran virus COVID-19 cukup bisa kita kendalikan. Perekonomian sepanjangan 2020-2021 juga terus bergerak, tidak pernah berhenti," kata Jokowi lagi.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir awal Februari, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 tercatat sebesar 3,69 persen atau naik dari tahun sebelumnya 2,07 persen.

Ihwal lain yang mendorong optimisme Jokowi adalah reformasi struktural yang disebutnya telah dilakukan pemerintah secara komprehensif sejak tahun lalu, antara lain, dengan penerbitkan Undang-undang Cipta Kerja yang merupakan "jurus" menyederhanakan birokrasi guna menggenjot investasi.

Adapula langkah mendorong variasi dan ragam produk hilirisasi di dalam negeri, dengan secara bertahap menghentikan ekspor bahan mentah mineral dan batu bara.

Kebijakan itu disebut Jokowi telah mampu menggerakkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.

"Dengan fondasi-fondasi tersebut, saya meyakini kita bisa mengakselerasi pertumbuhan jauh lebih baik pada 2022."

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy mengatakan penanganan pandemi yang tergolong berhasil telah meningkatkan mobilitas di dalam negeri sehingga kemudian mendorong permintaan serta konsumsi domestik, terutama dari kelas menengah.

"Dengan asumsi tidak ada gelombang ketiga yang mendorong pengetatan mobilisasi, asumsi pertumbuhan ekonomi bakal bisa dicapai," ujarnya kepada BenarNews.

Namun ada faktor yang bisa memengaruhi target pertumbuhan, yakni kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) dalam merespons perkembangan ekonomi global dan nasional yang berdampak pada nilai tukar rupiah dan inflasi.

"Jika merepons tepat, target pertumbuhan ekonomi 4-5 persen bisa tercapai," katanya lagi.

Bank sentral Amerika, Federal Reserve, pada pekan lalu telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bp) --diproyeksikan bakal terus naik-- sehinga Fed Fund Rate kini berada di kisaran 25-50 bp. Peningkatan itu dipicu invasi Rusia ke Ukraina yang mendorong inflasi global.

Kebijakan itu juga telah direspons BI dengan menahan suku bunga acuan di level 3,5 persen pada Kamis pekan lalu.

Perry Warjiyo kala kala itu mengatakan, keputusan mempertahankan suku bunga acuan dilakukan BI sebagai upaya menjaga stabilitas nilai tukar dan pengendalian inflasi dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ditambah, neraca pembayaran yang terus membaik sehingga bisa mendukung ketahanan eksternal ekonomi nasional serta surplus pada neraca perdagangan.

Per Februari, surplus neraca perdagangan Indonesia tercatat $3,8 miliar. (sumber: benarnews.org)